Apakah Konflik Israel di Palestina adalah Perang Agama?

Apakah Konflik Israel di Palestina adalah Perang Agama?
Apakah Konflik Israel di Palestina adalah Perang Agama?

Tidak sedikit warga dunia yang menganggap perang berkepanjangan antara Israel dan Palestina berhubungan dengan konflik agama. Israel dianggap sebagai negara mayoritas Yahudi, menentang Palestina sebagai negara mayoritas Islam, sehingga tak heran dukungan yang muncul hanya berdasarkan alasan agama.
Namun jika merujuk ke konflik yang terjadi sejak tahun 1948 ini hal ini tak sepenuhnya benar. Mengutip laporan Modern Diplomacy, ini sebaliknya, berakar dari sejarah politik yang melibatkan kedua negara.

Gerakan itu bertujuan untuk membangun negara Yahudi di Palestina yang bebas dari antisemitisme. “Apa yang tadinya hanya sekedar gagasan menjadi sebuah kemungkinan ketika Kesultanan Utsmaniyah tumbang sehingga menyebabkan Palestina jatuh ke tangan Inggris,” demikian laporan itu yang dikutip Rabu (15/11/2023).

Baca: Potret Sederet Miliarder yang Galang Dana untuk Israel
Pada tahun 1917, muncul Deklarasi Balfour oleh Inggris yang menyatakan akan mendirikan rumah nasional bagi masyarakat Yahudi di Palestina. Kemudian pada tahun 1947, PBB memutuskan untuk membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan negara Arab.

Akhirnya pada tahun 1948 Israel resmi berdiri, menyebabkan satu juta warga Arab Palestina diusir secara massal dari tanah air mereka yang kemudian dikenal dengan peristiwa Nakba. Sejak Israel menguasai tanah Palestina, muncul beberapa konflik perang Arab-Israel, seperti Perang Enam Hari pada tahun 1967 yang dimenangkan oleh Israel.

Pada tahun 1964, Partai Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk dan setahun kemudian partai politik Fatah didirikan. Pada tahun 1967, Israel menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza sehingga menimbulkan ketegangan dan perlawanan dari kelompok-kelompok Palestina.

Pada tahun 1987, Intifadhah atau perlawanan Palestina meletus akibat tewasnya empat warga Palestina setelah ditabrak truk Israel. Protes menyebar dengan cepat, sehingga memunculkan gerakan Hamas, sebuah kelompok militan Palestina yang merupakan cabang dari Ikhwanul Muslimin.

Intifada pertama sebagian besar dilakukan oleh kaum muda dan mengakibatkan kematian 1.070 warga Palestina dan penangkapan 175.000 warga Palestina oleh Israel. Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA).

Pada tahun 2000, terjadi Intifada kedua ketika pemimpin oposisi Partai Likud Israel, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke Masjid Al Aqsa. Bentrokan pun terjadi antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel yang menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari.

Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan serius pada perekonomian dan infrastruktur Palestina. Pada tahun 2004, pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal dan satu tahun kemudian, Intifada kedua berakhir.

Pada tahun 2005, warga Palestina mengadakan pemilihan umum pertama mereka. Dalam pemilu tersebut, Hamas memenangkan suara.

Namun, Fatah dan Hamas terlibat perang saudara selama berbulan-bulan dan menyebabkan kematian ratusan warga Palestina. Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah mempertahankan kendali atas Tepi Barat.

Tidak berhenti sampai di situ, Israel melancarkan empat serangan militer berkepanjangan ke Gaza pada tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021. Akibat serangan tersebut, ribuan warga Palestina tewas dan jutaan warga mengungsi.

Eskalasi 17 Oktober dan Serangan ke Gereja
Perang terbaru pecah 7 Oktober 2023, kala Hamas dilaporkan menyerang wilayah Israel Selatan dan memakan korban. Namun eskalasi berbahaya muncul di 17 Oktober.

Israel melakukan pengeboman terhadap Rumah Sakit Arab Al-Ahli di Gaza. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit Kristen terakhir di Gaza.

Dalam peristiwa tersebut, sedikitnya 500 orang tewas. Ini merupakan jumlah korban tewas tertinggi selama perang antara Israel dan Hamas.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa Israel tidak hanya memerangi umat Islam, tetapi juga umat agama lain, dalam hal ini Kristen. Tak hanya itu, Israel juga mengebom Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius di Gaza, tempat sekitar 500 warga Muslim dan Kristen Palestina mengungsi.

“Serangan ini semakin memperkuat implikasi bahwa Israel bermaksud menghancurkan seluruh masyarakat Palestina apapun agamanya. Jadi bisa dilihat bahwa ini bukan konflik agama,” jelas laporan tersebut.

Agama Lain di Dua Negara
Berdasarkan kronologi konflik Israel-Palestina di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik kedua negara bukanlah konflik agama. Sebab, baik Israel maupun Palestina juga mempunyai agama selain Yudaisme dan Islam.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Israel (CBS) pada tahun 2022, afiliasi keagamaan penduduk Israel adalah 73,6% Yahudi, 18,1% Islam, 1,9% Kristen, dan 1,6% Druze. Sedangkan penduduk beragama di Palestina adalah 93% Islam Sunni dan 6% Kristen.

“Pada akhirnya, konflik Israel-Palestina bukan sekadar konflik agama, melainkan konflik politik, sejarah, dan teritorial yang mengakar,” pungkas laporan tersebut.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *